Sunday, October 31, 2010

Stress Main Saham Takkan Pupus

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool

Ketika bertemu kenalan baru, setelah basa-basi biasanya mereka bertanya, "Main apa, Pak?" Maksudnya: profesi anda apa.

Saya jawab, main saham.

Mereka biasanya memberi salah satu dari tiga reaksi berikut.

Ada yang bilang: "Wah, enak dong untungnya banyak." (Silahkan baca pos "Main Saham Cepat Kaya?")

Ada juga: "Seru ya, tiap hari berjudi."

Atau, favorit saya: "Oh," sambil menatap saya dengan sorot mata 20% iba 80% sinis, menyiratkan kasihan deh lu nganggur, lalu ia lekas-lekas mengalihkan pembicaraan agar tidak mempermalukan saya lebih lanjut.

Dari reaksi-reaksi tersebut saya simpulkan bahwa kebanyakan orang menganggap main saham itu mudah, seru, dan tidak layak disebut profesi. Tidak ada yang berpikir bahwa main saham—baik investasi ataupun trading saham—sebenarnya adalah pekerjaan yang sulit dengan tingkat stress tinggi. Dan stress itu tidak pupus walaupun anda sudah berpengalaman bertahun-tahun.

Kok begitu?

Anda mungkin berpikir stress datang karena kita merugi. Pada mulanya memang betul: saya stress kala rugi. Hampir semua pemula stress karena rugi. Dengan bergulirnya waktu, saya sadar bahwa rugi adalah resiko profesi: tidak mungkin selalu untung dan tidak pernah rugi. Menyadari hal tersebut, saya menerapkan prinsip cut-loss, mulai bisa menerima kerugian, dan stress saya berkurang.

Menerapkan prinsip cut-loss memang mengurangi stress tetapi stress tetap ada. Lha, saya bingung. Udah menerima kenyataan bahwa rugi adalah resiko profesi tapi kenapa stress tidak hilang total? Setelah mencermati hal ini, saya sadar bahwa stress tidak bisa dipisahkan dari spekulasi, bukan karena selalu ada kemungkinan rugi, tetapi karena saya selalu harus membuat keputusan: beli, jual, atau pegang (buy, sell, or hold).

Masa sih? tanya anda.

Mari kita pikirkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita berusaha sedapat mungkin untuk tidak membuat keputusan baru. Nyatanya, setiap hari anda berangkat ke kantor melalui rute yang sama. Setiap hari ketika makan di rumah, anda duduk di kursi yang sama. Setiap malam ketika mau tidur, anda berbaring di sisi ranjang yang sama (bila anda tidur berduadengan pasangan andatentunya). Pilih yang rutin, jangan pilih yang berbeda, karena anda tidak mau menerima resiko melakukan hal yang berbeda.

Kalau anda main saham, anda harus—dan tidak bisa tidak—membuat keputusan. Apalagi pedagang saham full-time seperti saya: kalau saya tidak mengambil resiko dengan membeli saham, saya tidak akan pernah untung. Dengan membeli, saya membuka kemungkinan merugi. Setelah membeli, entah saham itu naik atau turun, saya harus memutuskan apakah harus pegang atau jual. Setelah membuka posisi (dengan membeli) saya tidak bisa menghindar dari keharusan membuat keputusan.

Mari kita lihat detailnya. Ketika membeli saham, saya langsung menentukan titik cut-loss. Nah, kalau saham naik, semuanya indah tapi saya tetap harus memutuskan kapan menjual. Kalau saham turun, saya sudah tahu titik cut-loss dan tinggal memutuskan kapan itu harus dilakukan.

So, masalahnya apa?

Mari kita lihat kasus berikut. Misalnya saya membeli saham BUMI di Rp 4000; saya tentukan titik cut-loss di 3600. Beberapa saat kemudian BUMI turun ke harga penutupan 3650. Saya siaga untuk menjual BUMI kalau besok ia mencapai 3600. Ketika pasar buka, BUMI turun ke 3600 dan saya langsung memasang jual BUMI di 3600 tapi tidak laku. Menjelang jam 12 siang BUMI malah turun ke 3500. Apa yang harus saya lakukan?

Apakah saya harus menjual di 3500 pada saat itu? Atau menunggu sampai sore, berharap BUMI saya di 3600 laku?

Kalau saya jual di 3500 pada siang hari dan sorenya BUMI naik ke 3600, saya akan kecewa dan stress membuat keputusan salah. Kalau saya tidak jual dan sore hari BUMI turun ke 3400, saya juga akan stress. Jual stress, tidak jual juga stress. (Mau tahu opsi lain yang bisa dilakukan? Silahkan baca pos "Dow Jones Turun 513 Points Semalam. Tindakan Apa Yang Bisa Anda Lakukan".)

Saya harap anda mulai memahami sulitnya main saham: anda diharuskan membuat keputusan terus-menerus dan banyak dari keputusan itu berasa getir. Kalau anda mau main saham, siapkan diri untuk stress. Tapi kalau anda mau hidup tenang tanpa stress, lebih baik jangan main saham.








Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

Saturday, October 23, 2010

Saham Naik ke Harga Tertinggi, Saatnya Jual?

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool

Sejak Juli 2010, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) terus-menerus naik mengukir rekor tertinggi baru. Karena kenaikan ini beberapa pengamat saham menganjurkan investor untuk ambil untung. Benarkah anjuran ini?

Ada baiknya saya ilustrasikan dengan contoh. Misal saja petinju Ali Otot baru mengukir rekor baru menang 30 kali pertandingan dengan 20 kali memukul KO lawannya, tanpa pernah kalah, tanpa pernah seri.

Pada pertandingan ke 31, Ali Otot akan bertarung melawan Bima Prima. Apabila anda diminta memilih siapa yang akan menang, apakah anda serta-merta menjagokan Bima Prima karena Ali Otot sudah berkali-kali mengukir rekor baru? "Ah, Ali Otot baru mengukir rekor baru, jadi tidak mungkin ia kembali membuat rekor baru. Jadi lebih baik saya menjagokan lawannya," begitu kira-kira logikanya.

"Hanya orang tolol saja yang memakai logika itu," maki anda. "Karena Ali Otot baru saja membuat rekor baru, seyogyanya kita menjagokan dia untuk memenangkan pertandingan berikutnya. Bukannya malah menganggap dia akan gagal."

Tepat sekali!

Demikian pula seharusnya logika dalam dunia saham. Karena IHSG mengukir rekor tertinggi baru, jauh lebih mungkin IHSG naik lagi daripada langsung terpuruk. 

Tapi, tanya anda, dengan kenaikan tersebut, bukankah saham-saham tersebut sudah mahal?

Terus terang saya tidak tahu apakah saham-saham BEI sudah mahal. Yang saya tahu adalah kenyataan bahwa IHSG menembus rekor karena banyak saham-saham komponen indeks yang membuat rekor tertinggi sepanjang masa (all-time high) baru. 


Mengapa saham mencapai rekor tertinggi baru?

Untuk memahami hal ini kita perlu menilik hukum ekonomi supply-and-demand, pasokan-dan-permintaan. Hukum ini menyatakan bahwa kala pasokan banyak dan permintaan sedikit, harga turun. Tapi kala pasokan sedikit dan permintaan banyak, harga naik.

Mari kita jabarkan proses kenaikan harga tersebut.


(Untuk memudahkan diskusi, mari kita anggap total pasokan saham adalah tetap. Sebenarnya pasokan saham bisa bertambah kalau perusahaan melakukan aksi korporasi right-issue, dan bisa juga berkurang kalau perusahaan melakukan buy-back).

Saham naik karena ada aksi beli. Bila aksi beli itu dilakukan pihak dengan strategi beli-dan-pegang, pasokan saham di pasar akan berkurang karena saham yang mereka beli tidak mereka jual dalam waktu dekat. Kala pasokan berkurang tapi pihak tadi tetap terus membeli, saham akan naik dan terus naik hingga mencapai rekor tertinggi terbaru.

Bisa kita simpulkan bahwa saham mencapai rekor tertinggi baru kalau ada pihak-pihak yang terus-menerus membeli dan memegang saham tersebut.

Siapakah mereka dan mengapa mereka terus membeli?

Dorongan beli besar—yang mengakibatkan saham naik tajam—biasanya datang dari fund manager (manajer investasi) bermodal besar yang sanggup memegang saham untuk jangka waktu lama. Selain bermodal besar, mereka juga didukung analis berpengalaman. Mereka membeli saham kalau analisa mereka menyatakan saham akan naik lebih tinggi di masa datang.

Mungkinkah fund manager tersebut salah?

Mungkin saja. Tapi sangatlah tidak bijaksana kalau anda bertaruh melawan mereka. Mereka bermodal lebih besar dari anda, lebih sabar dari anda, lebih berpengalaman dari anda. Langkah yang lebih tepat adalah mengikuti jejak mereka.

Saran saya: bila saham anda baru saja mencetak rekor harga tertinggi baru, jangan langsung dijual. Kemungkinan saham itu akan naik lebih tinggi lagi sebelum pada akhirnya ia turun. Jual saham itu bila ia turun mencapai titik jual yang sudah anda tentukan, bukannya ketika ia menembus rekor harga tertinggi.




N.B. (24 Mei 2013): 

Saya menulis pos ini di bulan Oktober 2010. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010 ditutup di angka 3598. Bandingkan dengan IHSG pada 30 Juli 2010 yang tutup di angka 3069. Dalam tiga bulan, IHSG sudah naik 17%, masa sih masi naik terus? pikir anda.

Coba bandingkan lebih lanjut dengan IHSG di bulan Mei 2013, kira-kira tiga tahun kemudian. Apakah turun seperti ramalan para pengamat saham profesional?

TIDAK.

IHSG di bulan Mei 2013 bertengger di angka 5000-an.

Ini adalah contoh satu lagi untuk tidak serta-merta percaya pada analis saham, sekalipun yang profesional.
 






Pos-pos yang berhubungan:
 
Artikel berbubungan yang patut dibaca:
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

Saturday, October 16, 2010

Investasi Saham atau Trading Saham, Mana Lebih Baik? (Bagian II)

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool

Pos ini adalah lanjutan dari "Investasi Saham atau Trading Saham, Mana Lebih Baik? (Bagian I)."

Setelah membaca Bagian I, anda mungkin menjadi bingung dan bertanya, "Jadi sebenarnya mana yang lebih baik, investasi saham atau trading saham?"

Saya tidak bermaksud membingungkan anda tetapi ingin menunjukkan satu prinsip penting yang harus anda pegang jika mau sukses main saham:

Hanya karena pakar menganjurkannya, tidak berarti hal itu baik untuk anda.
 

[Prinsip ini harus juga anda terapkan pada semua saran di blog ini: jangan ditelan bulat-bulat; bandingkan dulu dengan kondisi anda.]

Mengapa?

Karena anjuran pakar sifatnya umum tetapi anda adalah unik. Begini contohnya: pakar kesehatan menganjurkan kita untuk berolahraga, suatu anjuran yang baik. Tapi "berolahraga" itu tidak spesifik. Apakah artinya kita harus angkat beban atau lari atau berenang atau main badminton? Apakah kita harus melakukannya setiap hari, dua hari sekali, tiga hari sekali, atau setiap minggu? Kalau berolahraga melebihi kemampuan fisik, kita malahan bisa sakit atau cedera, bukannya sehat.

Jadi, untuk menentukan apa yang baik untuk kita, kita jangan menerima langsung semua yang dianjurkan pakar, tetapi harus terlebih dahulu menganalisa diri kita sendiri. Untuk menjawab pertanyaan "Mana yang lebih baik, investasi saham atau trading saham" anda harus terlebih dahulu menimbang tiga hal berikut:

  1. Tingkat kesabaran anda
  2. Waktu yang dialokasikan
  3. Toleransi terhadap resiko

Tingkat kesabaran

Kalau anda tipe sabar, investasi lebih cocok; kalau tidak sabar, trading lebih cocok.

Saya rasa ini cukup jelas. Jika anda tipe tidak sabar tapi memilih strategi beli-dan-pegang, anda akan tergoda menjual ketika saham baru naik sedikit. Setelah anda jual, saham mungkin akan naik dan terus naik. Anda kehilangan kesempatan untung lebih banyak karena ketidaksabaran anda.


Waktu yang dialokasikan

Kalau anda tidak bisa meluangkan banyak waktu, jangan memilih trading. Pilihlah investasi.

Investasi jangka panjang memberi anda kesempatan untuk mengambil keputusan tanpa buru-buru. Strategi ini juga membebaskan anda dari keharusan memantau harga saham setiap menit.


Lain dengan trading. Kalau anda memilih trading tapi anda sering sibuk dengan kegiatan lain, saham anda mungkin sudah turun ketika anda sempat memantau harganya.


Toleransi terhadap resiko

Kalau anda punya toleransi tinggi terhadap resiko, pilih investasi; kalau tidak, pilih trading.

Kalimat di atas terdengar kontradiktif, tapi tidak demikian. Investasi jangka panjang berarti kita beli-dan-pegang saham terus menerus.
Artinya, seorang investor harus tahan mental melihat saham yang ia miliki turun dari Rp 5000 ke 4000 ke 3000 ke 2000 ke 1000. Selama kondisi perusahaan memenuhi kriteria yang ia terapkan, si investor tetap memegang saham tersebut.

Tapi perlu juga anda perhatikan bahwa selama anda memegang saham suatu perusahaan, kondisi perusahaan bisa berubah dari baik menjadi buruk karena hal-hal yang tidak kita perhitungkan.

Ada baiknya saya ilustrasikan dengan contoh. Misalnya kita beli-dan-pegang saham pabrik A di harga Rp 1000. Setelah 1 tahun, saham itu naik menjadi 1200. Anda senang karena, di atas kertas, sudah untung 20%. Tiba-tiba pabrik A hangus dilalap api. Saham A anjlok dari Rp 1200 menjadi 500. Dalam sekejab, posisi untung 20% berbalik menjadi rugi 50%. Saham A mungkin saja naik lagi ke 1200, tapi tidak ada jaminan hal itu akan terjadi. Kalaupun terjadi, mungkin memakan waktu lama.

Berbeda dengan trading. Trading berarti kita hanya memegang saham dalam waktu pendek. Kalau saham naik, kita jual; kalau turun sampai titik cut loss, juga kita jual. Kita tidak terpengaruh oleh resiko perusahaan atau resiko pasar jangka panjang.

Saya sendiri memilih menjadi trader karena toleransi saya terhadap resiko sangatlah rendah. Saya tidak tahan melihat saham yang saya miliki turun. 

Misalkan saya membeli saham KIJA di 165. Beberapa hari kemudian KIJA turun ke 155. Untuk investor buy-and-hold, posisi rugi Rp 10 (6%) adalah hal yang tidak perlu dipikirkan. Tapi bagi saya, kerugian 6% ini membuat saya tidak enak makan, tidak enak tidur. Daripada tidak bisa tidur, lebih baik KIJA tersebut saya jual dan menelan rugi 6%.

Setelah menganalisa tiga hal di atas, anda siap menentukan sendiri mana yang lebih baik untuk anda, investasi saham atau trading saham. 






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

Saturday, October 9, 2010

Investasi Saham atau Trading Saham, Mana Lebih Baik? (Bagian I)

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool

Sejak Warren Buffet menjadi orang kedua terkaya di dunia versi majalah Forbes pada tahun 1990an, hampir semua pakar menyatakan bahwa satu-satunya strategi main saham yang menghasilkan adalah investasi saham jangka panjang (buy-and-hold) seperti yang dilakukan Mr. Buffet. Kalau anda tidak percaya, si pakar akan menyebut nama Warren Buffet. Lah, wong orang yang melakukan investasi saham buy-and-hold berhasil menjadi orang terkaya di dunia, berarti buy-and-hold adalah strategi terbaik, begitu argumentasi si pakar.

Namun sejak tahun 2008, kala Amerika diterpa krisis sub-prime mortgage yang membangkrutkan Lehman Brothers, banyak orang mulai bertanya-tanya apakah buy-and-hold adalah satu-satunya strategi tepat main saham. Mengapa baru timbul keraguan saat itu? Tidak lain karena investor yang beli-dan-pegang saham Amerika sejak tahun 2000 sampai dengan 2008 mendapat imbal hasil nol, bahkan negatif.

Kalau beli-dan-pegang tidak menguntungkan pada periode tersebut, mungkinkah strategi trading saham lebih baik?

Mungkin saja. 


Tapi untuk menentukan mana yang lebih baik, kita harus membandingkan imbal hasil (return) kedua strategi tersebut. Nah, di sini kita dihadang masalah. Di satu pihak kita dapat dengan mudah menghitung imbal hasil buy-and-hold: kita hanya perlu membandingkan harga saham waktu kita beli dan harga saham sekarang. Tapi di pihak lain kita sulit menentukan imbal hasil trading saham karena ada ribuan bahkan jutaan cara melakukan trading. Dengan begitu banyaknya cara trading saham, yang manakah yang layak kita pakai sebagai bahan perbandingan?

Memang, secara teoritis trading saham bisa jauh lebih menguntungkan daripada buy-and-hold. Begini maksud saya: kalau kita bisa membeli saham di harga terendah tahunan (low of the year) dan menjual di harga tertinggi pada tahun itu (high of the year), dan melakukan itu setiap tahun selama bertahun-tahun, imbal hasil kita akan amat sangat lebih tinggi dari strategi beli-dan-pegang. 


Masalahnya, tidak pernah ada satu orangpun yang berhasil melakukan hal ini dan hampir tidak mungkin ada yang bisa melakukan hal ini secara konsisten.

Mungkin kesulitan yang saya sebut di atas adalah alasan lain (selain Warren Buffet sang investor buy-and-hold yang menjadi orang terkaya di dunia) mengapa pakar selalu merekomendasi strategi beli-dan-pegang saham. Dengan menganjurkan strategi ini si pakar dapat dengan mudah menghitung imbal hasil dari data yang ada. "Kalau anda mulai buy-and-hold pada tahun 2000," kata si pakar, "sekarang ini investasi anda naik 5%. Tapi kalau anda mulai sejak tahun 1990, investasi tersebut sudah naik 500%." 


Tapi kalau si pakar merekomendasikan trading, ia sulit menghitung imbal hasil teoritis yang kita dapat karena ia tidak tahu harus memakai data yang mana. Daripada sulit menjelaskan, lebih baik ia merekomendasikan beli-dan-pegang saja.

Nah, kalau tidak ada data imbal-hasil trading saham untuk kita bandingkan dengan strategi beli-dan-pegang, bagaimana kita bisa menyatakan mana yang lebih baik?


Lanjut ke "Investasi Saham atau Trading Saham, Mana Lebih Baik? (Bagian II)"








Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saturday, October 2, 2010

Target Laba Main Saham (Bagian IV)

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool

Pos ini adalah bagian keempat dari empat pos:
  1. Target Laba Main Saham (Umum)
  2. Target Laba Investasi Saham (Jangka Panjang)
  3. Target Laba Trading Saham (Jangka Pendek)
  4. Contoh Kasus Laba/Rugi Main Saham

 
Contoh Kasus Laba/Rugi Main Saham

 
Saya menggunakan data saya sendiri sejak tahun 1997 untuk contoh kasus laba/rugi main saham di sini. Dengan data tersebut, saya tidak bermaksud menyombongkan atau mempromosikan diri sendiri karena hasilnya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Ada beberapa sebab saya melakukan hal ini:
  1. Saya tidak punya data akurat investor biasa yang lain. Memang data laba investor terkemuka seperti Warren Buffet atau George Soros banyak dipublikasikan, tetapi sangatlah tidak layak membandingkan diri kita dengan mereka. Kita bukan Warren Buffet dan hampir tidak mungkin menyamai prestasi beliau.

  2. Saya ingin memaparkan hasil sesungguhnya yang ada laba dan juga ada rugi, tanpa dipoles untuk tujuan promosi, agar para pemain saham lain tidak minder kalau mereka sering merugi. Kalau kita mendengar semua orang lain untung tapi kita sendiri rugi, kemungkinan kita malu mengakuinya. Padahal mungkin orang yang mengaku untung itu hanya sesumbar dan menutupi kenyataan bahwa diapun sering rugi.

 
Laba/Rugi Main Saham Iyan

 
Tahun
IHSG (%)
Laba (%)
1997
-37
-40
1998
-1
-70
1999
+72
+10
2000
-39
-50
2001
-6
-10
2002
+10
+0
2003
+63
+15
2004
+45
+0
2005
+16
+13
2006
+55
+10
2007
+51
+120
2008
-51
+28
2009
+84
+37

 
Catatan:
  • Saya mulai main saham pada bulan Juni 1997
  • Tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 saya melakukan strategi investasi jangka menengah, berubah ke trading jangka pendek dari tahun 2003 sampai sekarang.
  • Data laba/rugi tahun 1997 sampai dengan 2003 adalah perkiraan karena saya belum menyimpan data akurat.

 
Analisa

Dari tabel laba/rugi di atas kita melihat bahwa:
  1. Saya rugi selama 5 tahun--1997 s/d 2001—sebelum mulai mendapat untung. (Tahun 1999 memang untung 10%, tapi itu sangat buruk bila dibandingkan IHSG yang naik 72%.)
  2. Saya mulai untung pada tahun ketujuh, tahun 2003, tapi untung 15% tersebut walau memenuhi target trading pemain menengah (laba 1% per bulan) tetapi sangat kecil dibandingkan IHSG yang naik 63%.
  3. Hasil tahun 2004-2006 kurang lebih sesuai dengan target trading pemain menengah tapi kurang memuaskan karena IHSG naik lebih tinggi.
  4. Tahun 2007 saya mendapat untung 120% (dua setengah kali kenaikan IHSG sebesar 51%). Walau menggembirakan dan jauh di atas target trading pemain mahir (laba 3% per bulan), hasil itu mungkin hanya kebetulan saja. Saya tidak boleh mengambil kesimpulan dari sesuatu yang baru terjadi satu kali.
  5. Tahun 2008 dan 2009 saya kurang lebih mencapai target laba trading yang saya tentukan.

Bagaimana dengan hasil Anda?







Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]